Bekerja di Jepang dan mendapatkan gaji besar sambil menikmati kehidupan di negara tersebut mungkin menjadi impian banyak anak muda Indonesia.
Salah satu cara yang populer untuk mewujudkan impian tersebut adalah dengan menjadi kenshusei, atau peserta magang di Jepang.
Meskipun program pemagangan ini telah mengalami perbaikan dari tahun ke tahun melalui kerjasama bilateral antara pemerintah Indonesia dan Jepang, tetap ada sisi gelap yang perlu diungkap. Berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan sisi gelap dari program pemagangan di Jepang:
1. Proses yang Memakan Waktu dan Biaya yang Tidak Sedikit
Untuk bisa pergi magang ke Jepang, prosesnya tidaklah singkat. Peserta harus mempelajari bahasa dan budaya Jepang selama kurang lebih 6 bulan sebelum berangkat. Selain itu, masa tunggu untuk mendapatkan penempatan kerja juga bisa memakan waktu yang lama. Proses seleksi juga tidak mudah, peserta harus mengikuti wawancara berkali-kali.
Tidak hanya memakan waktu, program pemagangan juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun ada program magang pemerintah yang diklaim tidak memungut biaya, namun seringkali peserta harus mengeluarkan uang untuk belajar bahasa Jepang di lembaga pendidikan kursus (LPK) dengan biaya sekitar 5-7 juta rupiah.
Selain itu, ada juga biaya pribadi selama pelatihan nasional. Bagi peserta yang memilih pemagangan melalui lembaga swasta, biayanya minimal 30 juta rupiah, bahkan ada yang harus mengeluarkan hingga 100 juta rupiah. Biaya yang tinggi tersebut bisa menimbulkan masalah utang sebelum peserta memulai pekerjaan di Jepang.
2. Birokrasi yang Rumit dan Rentan Penyalahgunaan
Birokrasi yang terlibat dalam program pemagangan ini seringkali rumit dan rentan terhadap penyalahgunaan. Beberapa waktu yang lalu, terdapat kasus di mana imigrasi Indonesia menangkap warga negara Jepang yang melakukan wawancara untuk mencari calon peserta magang di lembaga pengiriman.
Mereka dianggap melanggar aturan keimigrasian Indonesia, padahal visa yang digunakan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ketidakjelasan dalam interpretasi aturan dan praktik birokrasi yang buruk dapat menimbulkan ketidakpastian dan kesulitan bagi peserta magang maupun perusahaan Jepang. Hal ini dapat menyebabkan kerugian baik bagi peserta maupun perusahaan yang terlibat dalam program pemagangan.
3. Permasalahan yang Dihadapi oleh Peserta Magang
Peserta magang seringkali menghadapi berbagai permasalahan selama masa magang di Jepang. Gaji yang diterima seringkali tidak sesuai dengan kontrak kerja. Beberapa sektor, seperti sektor perikanan, peserta magang harus bekerja keras selama 20 jam sehari tetapi gaji yang mereka terima jauh dari layak.
Potongan gaji yang tidak wajar, seperti asuransi dan pajak, juga seringkali tidak dijelaskan secara transparan oleh lembaga pengiriman atau perusahaan Jepang.
Selain itu, ada juga kasus di mana peserta magang mengalami kekerasan fisik, verbal, atau pelecehan seksual. Kasus-kasus ini seringkali tidak dilaporkan atau tidak digubris, meninggalkan peserta magang dalam situasi yang sulit.
4. Pelanggaran Kontrak dan Peserta Magang Ilegal
Pelanggaran kontrak kerja merupakan masalah serius dalam program pemagangan. Ada kasus di mana peserta magang memilih kabur dan menjadi pekerja ilegal di Jepang.
Hal ini merupakan pelanggaran kontrak secara sepihak dan peserta yang melakukannya harus menerima konsekuensinya.
Mereka kehilangan hak-hak seperti asuransi dan jaminpenghasilan, dan berisiko ditangkap dan dideportasi oleh pihak berwenang.
5. Kurangnya Perlindungan Hukum dan Akses ke Layanan Kesehatan
Peserta magang di Jepang seringkali menghadapi kesulitan dalam mendapatkan perlindungan hukum dan akses ke layanan kesehatan yang memadai. Mereka mungkin tidak memahami hak-hak mereka atau tidak tahu cara melaporkan pelanggaran yang mereka alami.
Selain itu, beberapa peserta magang mungkin tidak memiliki akses yang memadai ke layanan kesehatan, dan seringkali mereka harus bekerja meskipun sedang sakit atau cedera.
6. Pengalaman Budaya yang Membingungkan dan Kesepian
Meskipun program pemagangan di Jepang menawarkan pengalaman budaya yang berharga, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa peserta magang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan budaya Jepang yang berbeda.
Bahasa yang berbeda, norma sosial yang berbeda, dan isolasi sosial dapat menyebabkan rasa kesepian dan stres bagi peserta magang.
7. Tidak Ada Jaminan Pekerjaan Setelah Magang
Program pemagangan di Jepang tidak menjamin pekerjaan tetap setelah masa magang selesai. Peserta magang biasanya harus kembali ke negara asal mereka setelah periode magang selesai, dan tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan di Jepang setelahnya.
Hal ini dapat menjadi masalah bagi peserta magang yang telah menginvestasikan waktu dan uang dalam program tersebut.
Meskipun program pemagangan di Jepang menawarkan peluang bagi peserta magang untuk mendapatkan pengalaman kerja di luar negeri, tetap ada sisi gelap yang perlu diperhatikan.
Proses yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, birokrasi yang rumit, pelanggaran kontrak, dan kurangnya perlindungan hukum adalah beberapa masalah yang perlu diatasi.
Penting bagi peserta magang untuk melakukan penelitian yang cermat, memahami hak-hak mereka, dan bekerja dengan lembaga yang terpercaya dan transparan untuk mengurangi risiko yang terkait dengan program pemagangan di Jepang.